Depok | VoA – Sebuah video viral yang memperlihatkan Wali Kota Depok, Mohammad Idris, ikut serta dalam kampanye salah satu pasangan calon (paslon) di Pilkada Depok 2024, menuai banyak pertanyaan dan kritik.
Dalam video tersebut, Pak Wali Kota mengklarifikasi bahwa dirinya sedang “tidak berdinas sebagai Wali Kota.” dan pernyataan inilah yang memancing diskusi publik mengenai posisi resminya saat terlibat dalam kampanye tersebut.
Andi Tatang Supriyadi, seorang pengamat hukum politik dan juga selaku Ketua Aliansi Advokat Kota Depok menyoroti kedudukan Pak Wali Kota dalam kampanye ini.
“Kita harus melihat dari sudut pandang hukum, apakah beliau hadir sebagai Wali Kota, tim sukses, atau simpatisan? Jika sebagai Wali Kota, tentu tidak bisa sembarangan mengkampanyekan salah satu paslon karena hal itu diatur dalam Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017, yang juga mencantumkan sanksi pidana bagi pelanggarannya,”ujar Andi Tatang, Rabu (02/10/2024)
Dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 Pasal 281 ayat 1 dan 2, lanjutnya, disebutkan bahwa pejabat negara tidak boleh menggunakan fasilitas jabatannya untuk kampanye, kecuali fasilitas pengamanan yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, ayat 2 menyatakan bahwa pejabat harus menjalani cuti di luar tanggungan negara untuk terlibat dalam kegiatan kampanye.
Pertanyaan Besar: Apakah Wali Kota Depok Sudah Mengajukan Cuti?
Dalam video yang viral tersebut, Pak Wali Kota tidak menyebutkan bahwa ia sedang cuti, hanya mengatakan bahwa ia “tidak sedang bertugas.”
Hal ini menimbulkan pertanyaan krusial, apakah beliau benar-benar telah mengantongi surat izin cuti? Menurut Andi Tatang, jabatan Wali Kota melekat selama 24 jam, sehingga pernyataan “tidak sedang bertugas” tidak dapat serta-merta dibenarkan tanpa adanya surat cuti resmi.
“Jika ternyata Pak Wali Kota belum mengajukan cuti, keterlibatannya dalam kampanye bisa masuk dalam ranah pelanggaran hukum. Pasal 547 UU Pemilu dengan tegas menyebutkan bahwa pelanggaran terkait penggunaan fasilitas jabatan untuk kampanye dapat berujung pada sanksi pidana, dengan ancaman penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp 36 juta,” bebernya.
Proses Pengajuan Cuti: Tidak Bisa Instan
Andi Tatang juga menjelaskan bahwa, dalam proses pengajuan cuti, ada tahapan yang harus diikuti. Pengajuan cuti bagi seorang Kepala Daerah harus diajukan ke gubernur dan memakan waktu sekitar 12 hari.
“Tidak mungkin seorang Wali Kota hanya mengajukan cuti untuk beberapa jam saja. Oleh karena itu, penting untuk memastikan apakah cuti tersebut benar-benar sudah diproses atau belum,” ucapnya.
Jika laporan resmi terkait dugaan pelanggaran ini disampaikan oleh salah satu paslon, maka Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) wajib turun tangan untuk memeriksa pihak-pihak terkait.
“Bawaslu harus tegas dalam menegakkan aturan, tanpa pandang bulu. Jika ada pelanggaran, harus diambil tindakan agar memberikan efek jera,” tegas Andi Tatang.
Menurutnya, dalam situasi ini, aturan main Pilkada harus diikuti dengan ketat. Setiap pelanggaran harus direspons secara adil demi menjaga integritas pemilu, karena harapan semua pihak adalah agar Pilkada Depok 2024 dapat berjalan lancar, aman, dan damai tanpa ada kecurangan yang dapat mencederai demokrasi.
“Jika kita ingin Pilkada berjalan lancar, semua pihak harus tunduk pada aturan. Tidak boleh ada yang merasa diistimewakan,” tambah Andi.
Kini, semua mata tertuju pada Bawaslu Depok, yang diharapkan akan segera mengambil langkah tegas dalam menindaklanjuti kasus ini. Apakah Pak Wali Kota benar-benar telah mengikuti prosedur dengan baik, atau justru berpotensi melanggar aturan? (ed)