Depok | VoA – Surat Edaran Dinas Pendidikan Jawa Barat Nomor 359/PK.03.04.04/SEKRE mengenai percepatan penyerahan ijazah jenjang SMA/SMK/SLB Tahun Pelajaran 2023/2024 atau sebelumnya menuai polemik di kalangan pendidikan, terutama di sekolah swasta.
Pemerhati Pendidikan Kota Depok, Andi Tatang Supriyadi, menilai bahwa kebijakan ini tidak bisa diberlakukan sama antara sekolah negeri dan swasta. Ia meminta agar Disdik Jabar mengkaji ulang kebijakan tersebut dan segera mencabutnya.
Permasalahan Tunggakan SPP di Sekolah Swasta
Menurut Tatang, kebijakan ini menimbulkan persoalan bagi sekolah swasta yang masih memiliki tunggakan pembayaran dari orang tua siswa.
“Untuk sekolah negeri sudah jelas, tetapi bagaimana dengan sekolah swasta yang masih memiliki kewajiban yang belum dibayarkan oleh orang tua siswa? Ini harus dibahas lebih lanjut,” ujar Tatang, Selasa (28/01/2025)
Ia juga mempertanyakan apakah Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tidak mengetahui bahwa setiap tahun selalu ada tunggakan kewajiban dari siswa di sekolah swasta, sehingga ijazah mereka masih ditahan.
“Kalau ijazah harus diberikan secara gratis, siapa yang membayar tunggakan tersebut? Dananya dari mana? Siapa yang bertanggung jawab?” tegas Tatang.
Koordinasi dengan BMPS dan MKKS Dipertanyakan
Tatang juga menyoroti kurangnya koordinasi antara Disdik Jabar dengan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Menurutnya, kebijakan ini bisa memunculkan masalah baru di kalangan sekolah swasta jika tidak dikaji dengan baik.
“Kalau belum ada koordinasi, maka harus segera dilakukan. Jangan sampai kebijakan ini justru menimbulkan persoalan baru di sekolah-sekolah swasta,” katanya.
Selain itu, ia juga menyoroti prosedur pengambilan ijazah yang mewajibkan keterlibatanS Kepala Cabang Dinas (KCD). Menurutnya, ijazah seharusnya diambil langsung oleh orang tua atau siswa, bukan pihak ketiga seperti KCD.
“Apakah KCD siap menerima dan menampung ijazah yang selama ini tidak diambil akibat ada tunggakan? Dari hasil investigasi, ada ijazah yang sudah 13 tahun tidak diambil karena masalah ini,” jelasnya.
Desakan untuk Mencabut atau Merevisi Surat Edaran
Tatang menegaskan bahwa kebijakan ini tidak bisa disamakan antara sekolah negeri dan swasta. Oleh karena itu, ia meminta agar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mencabut atau merevisi surat edaran tersebut agar tidak merugikan sekolah swasta.
Ia juga mengajak Pemprov Jabar, Disdik Jabar, DPRD, kepala dinas kabupaten/kota, BMPS, dan MKKS untuk duduk bersama mencari solusi terbaik agar tidak ada pihak yang dirugikan.
“Sekolah negeri seluruh anggarannya berasal dari pemerintah, sementara sekolah swasta harus mengandalkan dana dari orang tua siswa untuk operasional, gaji guru, dan pembangunan infrastruktur,” ujarnya.
Menurutnya, meskipun sekolah swasta mendapat bantuan dana BOS dan BUMP, namun anggaran tersebut tidak mencukupi kebutuhan operasional sekolah, sehingga mereka masih membutuhkan partisipasi orang tua.
Polemik semakin tajam karena jika hingga 3 Februari 2025 ijazah belum diambil, maka sekolah diwajibkan menyerahkannya ke KCD disertai berita acara. Hal ini dikhawatirkan akan semakin memperumit permasalahan bagi sekolah swasta yang masih memiliki kewajiban keuangan dari siswa. (Ed)