Jakarta | VoA – Presiden Prabowo Subianto berencana meningkatkan produksi biodiesel atau bahan bakar minyak campur sawit hingga 60 persen (B60).
Bahlil Lahadalia selaku Menteri ESDM mengatakan, pemerintah akan menggencarkan program Bahan Bakar Nabati (BBN), khususnya program pencampuran biodiesel hingga 60% (B60).
Hal itu dilakukan sebagai target Presiden RI Prabowo Subianto yg disampaikan pada saat pelantikan bahwa ia ingin Indonesia bisa mencapai kemandirian atau swasembada energi.
Prabowo menegaskan, dalam keadaan ketegangan politik saat ini, yang memungkinkan ada perang di mana-mana. Indonesia harus siap dengan kemungkinan yang paling buruk, di mana negara lain harus mengamankan kepentingannya sendiri.
“Kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan, sulit akan dapat sumber energi dari negara lain. Karena itu kita harus swasembada energi, dan kita mampu untuk swasembada energi,” ungkap Prabowo dalam Pidato Perdana usai diambil sumpah jabatan sebagai Presiden RI di Gedung DPR/MPR RI, dikutip Senin (20/10/2024).
Bahlil juga meyakini ketersediaan bahan baku untuk pencampuran B60 ini cukup, “Sekarang kan kita B40, sekarang kita akan dorong ke B50 sampai B60. Kalau ditanya bahwa itu cukup atau tidak, B35 sampai B40 itu kan kita habiskan kurang lebih sekitar 14 juta kilo liter. Nah, sementara ekspor kita kan masih banyak. Nah, kalau ditanya kapasitas CPO kita cukup atau tidak, cukup, pasti cukup,” ungkap Bahlil saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (21/10/2024).
Menurut, Eddy Martono Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menanggapi perihal tersebut, ia menganggap suatu peluang besar guna mengoptimalkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Eddy meyakini Pemerintah tidak akan gegabah dalam menjalankan program biodiesel saat produksi sawit dalam negeri masih stagnan.
“Saya sangat yakin pemerintah tidak akan gegabah mengimplementasikan B50 selama produksi masih stagnan seperti,” kata Eddy dalam konferensi pers di Kantor Pusat Gapki, Jakarta Pusat, Selasa (22/10/2024).
Eddy mengatakan, jika pemerintah gegabah dalam mengimplementasikan program biodiesel maka akan mengorbankan ekspor sawit Indonesia. Alhasil, hal itu bisa membuat jumlah devisa menurun.
“Yang akan dikorbankan, betul, pasti ekspor. Yang kedua, bagaimana nanti dengan ekspor, devisa ekspor. Yang ketiga adalah siapa yang akan membiayai B50 tersebut? Kalau ekspornya kurang, misalkan B35 saat ini kan pembiayaan dari pungutan ekspor,” jelasnya.
Berdasarkan perhitungan Gapki, apabila B40 diimplementasikan bisa memangkas jumlah ekspor sebesar 2 juta ton.
Kemudian jika B50 bisa memangkas ekspor sebesar 6 juta ton sawit.
“Sekali lagi saya meyakini bahwa pemerintah tidak akan gegabah selama produksi tidak mencukupi. Dengan B40 saja, kalau dimplementasikan ini, ekspor kita akan turun 2 juta ton. Kemudian kalau kita memaksakan B50, ekspor kita akan turun 6 juta ton dari rata-rata di 30 juta ton,” ujar Eddy.
Lebih lanjut, Eddy juga mengingatkan agar Pemerintah memperhatikan potensi inflasi jika pasokan ekspor sawit Indonesia ke pasar dunia berkurang. Lantara, Indonesia akan terdampak imbasnya juga.
“Apabila supply kita berkurang ke dunia, pasti harga juga akan naik, harga minyak nabati dunia. Ujung-ujungnya apa, nanti akan berdampak juga pada inflasi juga bagi kita dengan mahalnya nanti segala produk dari sawit,” jelasnya.
Pemerintah menargetkan mulai 1 Januari 2025 mendatang akan memberlakukan mandatori pencampuran B40.
Hal tersebut menyusul permintaan dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat memberikan arahan pada rapat pimpinan (Rapim) di lingkungan Kementerian ESDM, Selasa (20/8/2024).
“Bioenergi akan menjadi prioritas juga, kita lagi mempersiapkan B40 untuk mandatori ya. Mandatori nanti saya keluarkan insya Allah ini sudah settle di 1 Januari 2025,” kata Eniya (Dirjen EBTKE) usai Rapim di Gedung Kementerian ESDM.
(die)