Jakarta | VoA – Brigjen Mukti Juharsa Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dirtipid Narkoba) Bareskrim Polri diduga menjadi Admin ‘New Smelter’ pada WhatsApp (WA) Grup, guna memuluskan tindak pidana korupsi izin usaha pertambangan PT Timah Tbk, yang menyebabkan kerugian pada negara hingga Rp 300 triliun. Hal ini terungkap dalam sidang perkara korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Kamis, 22 Agustus 2024. Dengan Harvey Moeis sebagai terdakwa.
General Manager PT Timah Tbk Ahmad Samhadi yang hadir sebagai saksi, mengungkapkan dugaan keterlibatan Brigjen Mukti yang menjadi Admin WhatsApp (WA) Grup ketika masih berpangkat Komisaris Besar atau Kombes pada 2016.
Menurut penuturan Samhadi, WhatsApp (WA) Grup ini dibuat guna memudahkan PT Timah berkoordinasi dengan perusahaan smelter swasta yang terafiliasi. Di dalam WhatsApp (WA) Grup tersebut, terdapat dua anggota kepolisian, pihak PT Timah, dan para smelter swasta.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar menyatakan bahwa nama mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Bangka Belitung, Mukti Juharsa tidak ada dalam berkas perkara, meski nama yang bersangkutan muncul dalam persidangan korupsi timah. “Yang bersangkutan tidak ada dalam berkas perkara,” kata Harli.
Lebih lanjut apakah Kejaksaan akan mendatangkan Mukti Juharsa ke persidangan, Harli menjelaskan bahwa saksi yang akan dihadirkan dalam persidangan adalah saksi yang namanya ada dalam berkas perkara. Dia pun menegaskan jika ada nama yang disebut dalam suatu persidangan yang terkait dengan perkara tidak serta merta secara otomatis akan dipanggil untuk dimintai keterangannya sebagai saksi. “Bahwa ada penyebutan ini (nama), itu akan jadi bahan pendalaman, apakah itu dipertimbangkan hakim sebagai fakta, itu nanti jadi fakta berkas,” ucapnya.
Kejaksaan Agung, dalam perkara ini telah mengungkapkan sejumlah 22 tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Pada awalnya, dari kasus ini negara mengalami kerugian yang ditaksir senilai Rp 271 triliun. Namun, perhitungan pakar mengungkapkan bahwa kerugian negara menjadi naik secara drastis mencapai Rp 300 triliun.
Beberapa faktor penyebab lonjakan nilai kerugian ini, antara lain berasal dari, harga sewa smelter yang mahal, penjualan bijih timah kepada mitra, serta kerugian keuangan negara dan kerusakan pada lingkungan. Menurut Febrie Adriansyah Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), kewajiban untuk membayar kerugian pada negara dibebankan kepada para tersangka yang terlibat dalam kasus ini, tidak hanya oleh PT Timah Tbk.
“Kewajiban melekat di PT Timah karena dijalankan di dalam Izin Usaha Pertambangan (PT Timah), tapi rugi terus. Ini harus dibebankan ke mereka yang menikmati,” ucap Febrie di Kantor Kejaksaan Agung Jakarta Selatan, pada Rabu, 29 Mei 2024. Hal ini disampaikan oleh Febrie sebagai respons terhadap kenyataan bahwa PT Timah terus merugi, tidak mungkin sanggup membayar total kerugian negara sebesar Rp 300 triliun itu sendiri. (Farisa Yulianti).