Depok | VoA – Perkara pidana dengan nomor 210/Pid.B/2024/PN Dpk yang melibatkan terdakwa Asep Somantri dan Acep Saefulloh masih terus bergulir di Pengadilan Negeri Kelas 1A Kota Depok. Sidang yang seharusnya mengagendakan pembacaan putusan harus ditunda hingga pekan depan oleh Majelis Hakim, Senin (26/08/2024)
Penundaan ini semakin memperpanjang proses hukum yang melibatkan kedua terdakwa yang didakwa atas pelanggaran Pasal 170 KUHP. Pasal ini mengatur tentang penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun 6 bulan penjara.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Faisal Anwar hanya menuntut kedua terdakwa dengan hukuman 5 bulan penjara, yang dianggap terlalu ringan mengingat beratnya pasal yang dilanggar. Ketika dikonfirmasi terkait hal ini, JPU Faisal Anwar memilih untuk tidak memberikan komentar.
Di tempat terpisah, Pelapor, Suherman Bahar, yang juga menjabat sebagai Wakil Panglima Laskar Merah Putih (LMP), mengungkapkan rasa kecewanya terhadap kinerja jaksa. Herman merasa bahwa Jaksa tidak kooperatif dan tidak membela dirinya sebagai pelapor.
“Saya merasa ada keanehan dalam kasus saya ini. Jaksa yang seharusnya membela saya sebagai korban dan pelapor justru terkesan tidak berpihak pada kami,” ujar Herman di kediamannya.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak diberitahu mengenai tuntutan yang diajukan oleh Jaksa, bahkan saat pembacaan pledoi pun ia tidak diinformasikan.
“Saat sidang pembacaan tuntutan saya tidak di infokan oleh Jaksa dan saat sidang pledoi pun saya tidak di beritahu, ini kenapa dan ada apa?,” ucapnya penuh tanya.
Dan yang lebih mirisnya lagi, lanjut Herman kendaraan roda empatnya yang rusak cukup banyak, Jaksa hanya mengatakan tergores saja.
“Mobil saya di rusak mengunakan kayu balok dan di tendang namun Jaksa hanya mengatakan mobil saya hanya tergores saja,” ucapnya.
Menurut Herman, perkaranya ini memang sudah ada kejanggalan saat di penyidikan, dari alotnya proses, hingga bukti CCTV yang di lampirkan oleh pihaknya, namun penyidik mengatakan tidak ada.
“Dalam perkara saya ini, saya melampirkan adanya CCTV, namun kata penyidik tidak ada. Padahal dengan adanya CCTV itu maka semua akan jadi terang benderang,” bebernya.
Herman juga mempertanyakan mengapa laporannya terkait rekaman CCTV yang mendukung pasal 170 tidak diterima oleh penyidik, sementara laporan dari pihak lain yang menggunakan rekaman CCTV diproses dengan cepat.
“Dan juga saya melaporan yang bernama Iyus, namun penyidik mengatakan tidak terbukti, eh pas persidangan saksi dari pihak terdakwa yakni Renol, justru Renol mengatakan Iyus ikut melakukan pengrusakan tersebut,” sambungnya.
Selain itu, Herman juga menyoroti bahwa terdakwa menghadirkan saksi yang ternyata merupakan anak kandungnya sendiri. Meskipun hakim memutuskan bahwa saksi tersebut tidak perlu disumpah, Herman merasa bahwa saksi memberikan keterangan palsu dengan mengaku tidak mengenalnya, meskipun Herman yakin sebaliknya.
“Saksi anak kandung terdakwa telah memberikan kesaksian palsu di persidangan,karena dia mengaku tidak mengenal saya padahal jelas-jelas saksi sangat mengenal saya,” tandasnya.
Herman berharap bahwa Majelis Hakim dapat melihat dan memahami semua kejanggalan yang terjadi dalam proses hukum ini.
“Saya berharap yang mulia para Majelis Hakim dapat melihat semua kejanggalan-kejanggalan ini dan memberikan keputusan yang seadil-adilnya dan semoga Hakim yang mulia menjatuh kan hukuman yang setimpal,” harap Herman. (ed)