Tangerang | VoA – Kasus dugaan perampasan tanah yang melibatkan penipuan, pemalsuan surat, dan penggelapan kembali mencuat ke permukaan. Korban berinisial S mendatangi Kantor Polres Kota Tangerang, Polda Banten, pada Jumat, 27 Desember 2024, untuk memberikan keterangan terkait perkara tersebut.
Setibanya di ruang Subdit Harta dan Benda (HARDA), korban bersama saksi memberikan keterangan mengenai kronologi kejadian. Korban S menerima surat undangan limpahan dari Polda Banten ke Polres Kota Tangerang guna memberikan informasi hasil penyelidikan serta menjalani wawancara klarifikasi perkara.
“Dalam waktu dekat, setelah tahun baru, kita akan proses. Korban dan saksi nanti akan kami panggil lagi untuk memberikan keterangan lebih lanjut,” ujar korban menirukan pernyataan penyidik kepada wartawan pada Selasa, 28 Januari 2025.
Namun, hingga kini, kasus tersebut belum menunjukkan perkembangan berarti. Korban mencoba mengonfirmasi tindak lanjut penyelidikan kepada penyidik Briptu Yoga Marsito melalui WhatsApp, tetapi hanya mendapat jawaban singkat, “Nanti Pak, saya lagi liburan.” Saat dimintai keterangan lebih lanjut, Briptu Yoga tidak memberikan respons.
Korban S berharap pihak kepolisian, khususnya Polres Kota Tangerang, segera menindaklanjuti kasus ini dengan serius dan profesional.
“Susah mencari keadilan,” keluhnya,
Mafia Tanah Marak di Tangerang
Kasus mafia tanah di Kabupaten Tangerang bukanlah hal baru. Sebelumnya, pada September 2024, Kepala Desa Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tumpang Sugian, ditahan di Rutan Polda Banten atas dugaan pemalsuan surat yang menyebabkan kerugian korban hingga Rp. 2,1 miliar.
Selain itu, pada Agustus 2020, pejabat desa di Kecamatan Teluk Naga mengeluhkan praktik mafia tanah yang melibatkan perubahan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) tanpa sepengetahuan pemilik asli. Modus seperti ini membuat masyarakat resah dan merasa tidak mendapat perlindungan hukum yang layak.
Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, menyoroti lemahnya penegakan hukum dalam kasus mafia tanah. Menurutnya, praktik tersebut melibatkan persekutuan antara pemodal besar dan kelompok tertentu, yang menyebabkan aparat hukum terkesan enggan bertindak tegas.
“Negara harus hadir dalam mengatasi kasus mafia tanah seperti yang terjadi di Tangerang. Jika dibiarkan, praktik ini akan terus berlanjut dan merugikan masyarakat luas,” tegas Haris Azhar.