Surabaya | VoA – Dalam pandangan keagamaan, manusia dianggap sebagai ‘IMAGO DEI’, diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan. Setiap jutaan DNA saraf dalam tubuh mencerminkan keajaiban yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh teori manusia, menunjukkan bahwa setiap individu memiliki nilai intrinsik yang luar biasa.
Namun, di tengah iklim politik saat ini, seringkali manusia dianggap tidak lebih dari sekadar “sumber daya” dalam konteks demokrasi. Sebaliknya, seorang pemilih seharusnya tidak hanya dianggap sebagai “sumber daya” melainkan sebagai Homo Imago Dei, yang memiliki martabat yang tinggi dan mampu berkontribusi dalam proses politik dengan pemikiran dan nilai-nilai kemanusiaannya.
Ketika kita berbicara tentang “sumber daya manusia” dalam konteks politik, tanpa disadari kita mungkin telah menjadikan manusia sebagai bagian dari roda dalam sistem demokrasi. Kita terjebak dalam penggunaan istilah yang sudah umum, namun, seharusnya kita merenung lebih dalam apakah istilah tersebut sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal yang kita anut.
Istilah “sumber daya manusia” (SDM) sering digunakan dalam politik, tetapi nilai dari istilah tersebut hanya didasarkan pada kegunaan dalam konteks demokrasi semata. Hal ini menyebabkan kita sering kali mengabaikan martabat manusia, hanya fokus pada perlakuan yang adil, baik itu secara materi atau sosial. Seiring dengan berkembangnya politik, muncul istilah “Ideal Socialisem” yang, meskipun relatif baru, sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sayangnya, dalam dinamika politik modern, manusia sering direduksi menjadi “homo economicus” (manusia bernilai ekonomi), hanya dilihat dari sudut pandang keekonomian dan bukan lagi sebagai individu yang memiliki martabat. Dalam politik dan demokrasi, kita harus melihat nilai manusia secara menyeluruh dan menolak reduksi manusia hanya menjadi sekadar sumber daya.
Dengan mengubah paradigma politik kita untuk mengakui dan menghormati martabat setiap individu sebagai Homo Imago Dei, kita dapat memastikan bahwa politik tidak hanya menjadi alat untuk kepentingan ekonomi semata, tetapi juga sebagai sarana untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan. Mari bersama-sama menghargai keunikan setiap manusia dalam politik dan menolak pandangan sempit yang mereduksi Homo Imago Dei menjadi sekadar sumber daya manusia. (Okik)