Pemalang | VoA – Dalam dunia yang semakin bising ini, banyak orang hidup dalam ilusi bahwa untuk dianggap berarti, seseorang harus terus berbicara, bersuara, dan menunjukkan eksistensinya dengan lantang.
Media sosial menjadi ajang pertarungan kata-kata, di mana setiap individu berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian. Namun, pertanyaannya, apakah semua itu benar-benar membuat seseorang lebih bernilai? Ataukah justru sebaliknya?
Faktanya, kebanyakan orang tidak peduli seberapa banyak kita berbicara. Nilai diri seseorang tidak ditentukan oleh seberapa lantang ia bersuara, melainkan oleh tindakan nyata yang ia lakukan. Keberadaan sejati tidak perlu diumumkan dengan keras, ia terlihat dari dampaknya, bukan dari suaranya.
Ironisnya, semakin keras seseorang berusaha untuk diperhatikan, semakin jelas bahwa keberadaannya justru kurang diakui. Bayangkan sebuah ruangan yang penuh orang. Di sana, ada seseorang yang terus membanggakan pencapaiannya, berbicara tanpa henti.
Namun, di sudut ruangan yang sama, ada sosok yang diam, tenang, dan tidak berusaha mencari perhatian. Justru dialah yang dihormati, diperhitungkan, dan memiliki kehadiran yang lebih bermakna.
Diam bukan tanda kelemahan, tetapi sebuah kekuatan yang sering diremehkan. Dalam keheningan, seseorang dapat menunjukkan ketegasan dan kebijaksanaan yang tidak dapat dicapai hanya dengan kata-kata.
Filsafat Stoikisme mengajarkan bahwa diam adalah kekuatan sejati. Marcus Aurelius pernah berkata, “Diam adalah kekuatan bagi mereka yang menguasainya.” Dalam diam, terdapat kejelasan, ketegasan, dan kebijaksanaan yang tidak tergoyahkan oleh hiruk-pikuk dunia.
Jadi, jika kamu pernah merasa lelah karena terus berusaha membuktikan nilai dirimu kepada dunia, mungkin inilah saatnya untuk berhenti. Biarkan keheningan bekerja untukmu. Karena dalam diam, ada makna yang lebih dalam, ada kebijaksanaan yang lebih tajam, dan ada kekuatan yang tidak tergoyahkan. (Eko B Art)