Surabaya| VoA– Selaku aktivis perempuan juga Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ” foto” Ning Lia Istifhama viral karena di surat suara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jawa Timur tampak anggun pada Pemilu 2024. Ning Lia menduduki urutan ketiga dengan perolehan 2.739.123, suara dalam perhitungan KPU hingga hari ini. Selasa,(12/03/2024).
Pengamat menilai masyarakat masih mengedepankan sosok yang terkenal dalam memilih perwakilan daerah ataupun calon legislatif pada hari pencoblosan. Banyak pemilih di daerah pemilihan DPD (dapil) Jawa Timur terkejut saat melihat foto deretan caleg ternama seperti ” Ahmad Nawardi, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti juga Ning Lia Istifhama serta nama Kondang Kusumaning Ayu.
Pengamat BRIN, Devi Darmawan menjelaskan bahwa alasan mengapa masyarakat cenderung mencari figur publik saat memilih calon legislatif maupun perwakilan daerah adalah karena begitu perhatiannya mereka terhadap pemilihan tersebut.
Sebab, sebagian besar dari perhatian masyarakat sudah tersita pada kontestasi calon presiden dan calon wakil presiden, sehingga seringkali mereka tidak mencari tahu lagi lebih dalam mengenai calon-calon kategori yang lain.
“Kalau riset kami di tahun 2022, itu tentang representasi politik parlemen. Itu menunjukkan bahwa kita ini masih perwakilannya itu simbolik, belum perwakilan yang substantif.
Kenapa simbolik? Karena memang pemilihan kita untuk parlemen itu memang betul -betul dianggap sebagai formalitas, kemudian juga pencalonan menjadi anggota DPD, akhirnya juga tidak terlalu membawa aspirasi masyarakat secara substansial,” ungkap Devi.
Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan nama-nama orang yang tak dikenal, mereka seringkali memilih sosok yang sudah sering mereka jumpai, contohnya seperti aktivis, pegiat sosial atau figur publik.
Ia menyatakan bahwa peran dan fungsi perwakilan rakyat, baik di tingkat DPR, DPD maupun DPRD, masih dipandang sebagai posisi yang simbolis atau hanya sebagai formalitas oleh para pemilih saat ikut serta dalam pemilihan umum kemarin. Itu sebabnya masyarakat lebih memiliki kecenderungan untuk memilih sosok yang familiar bagi mereka.
Kebiasaan seperti itu, menurut Devi, karena ide program dan gagasan menjadi prioritas nomor satu jika disandingkan dengan unsur popularitas atau kharisma kecantikan kolosal seseorang.
“Masih banyak hal tersebut yamg perlu kita perbaiki di dalam penyelenggaraan situasi dan kondisi pendukung untuk demokrasi kita supaya kita bisa menghasilkan parlemen yang diisi oleh orang-orang yang betul-betul terpilih melalui gagasan,” ujarnya. (okik)