Surabaya | VoA – Dalam persidangan, si buruh perempuan ini didakwa memalsukan surat lamaran kerja di tempat ia bekerja sebelumnya. Sungguh miris. Kini dirinya mendekam di penjara Medaeng.
Hal ini terungkap ketika Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Surabaya, Darwis membacakan amar dakwaan terhadap buruh perempuan, Dwi Kurniawati, di ruang Candra Pengadilan Negeri Surabaya, pada Kamis (21/3/2024).
Terdakwa merupakan buruh asal Sumur Welut, kota Surabaya. Berawal keinginannya untuk bisa menduduki posisi staff accounting di PT Mentari Nawa Satria atau biasa dikenal ” Kowloon Palace Internasional Club. Dwi melakukan tindak pidana dengan memalsukan surat pengalaman kerja. Sidang berlangsung secara daring. Terdakwa menghadapi sidang dari Rutan Medaeng.
Di depan majelis hakim yang diketuai Taufan Mandala, Darwis menjelaskan terdakwa memalsukan berkas pengalaman kerja yang dikeluarkan Koperasi Karyawan (Kopkar) Rumah Sakit William Booth Surabaya dengan tertanda tangan oleh Supali, selaku Ketua Pengurus. Maka, dengan modal surat pengalaman kerja itu terdakwa bisa lolos bekerja di Kowloon sebagai staff accounting sejak 28 November dengan masa percobaan selama 6 bulan sampai 28 Mei 2023.
Namun, terungkapnya pemalsuan surat itu pada 11 Mei 2023 lalu di saat terdakwa tidak masuk kerja dan tidak bisa dihubungi. Ketika itu dilakukan pengecekan evaluasi kinerja dan didapat temuan terdakwa sering melakukan kesalahan perhitungan kerja karyawan,” kata Darwis.
Mengetahui hal itu, Eko Purnomo bersama Fransisca selaku General Affair, dan Galuh sebagai HRD melakukan pengecekan data lamaran kerja terdakwa. Kemudian saksi- saksi ini curiga terhadap salah satu berkas lamaran kerja terdakwa yang dikeluarkan (Kopkar) Rumah Sakit William Booth Surabaya.
Selanjutnya saksi ini mendatangi rumah sakit tersebut untuk melakukan pengecekan. Hasilnya diketahui, jika lembar fotocopy surat keterangan kerja Dwi yang dikeluarkan Rumah Sakit William Booth adalah palsu.
Supali sebagai Kepala Koperasi Karyawan Rumah Sakit William Booth pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 tidak pernah bertanda tangan dalam surat pengalaman kerja milik terdakwa. Namun, terdakwa Dwi Kurniawati memang betul pernah bekerja sebagai kontrak di Koperasi Karyawan Sejahtera Rumah Sakit William Booth sebagai staff administrasi. Kurang lebih sejak tahun 2005 sampai dengan 2014. Ia berhenti kerja dengan status Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Darwis melanjutkan” seharusnya terdakwa saat itu tidak bisa diterima kerja sebagai accounting. Karena yang dibutuhkan adalah seorang staff accounting yang berpengalaman
hingga akhirnya terbukti ketika terdakwa berkerja tidak cakap dalam menjalankan tugas, yaitu salah dalam menghitung gaji karyawan di
tempat usaha hiburan malam di Jalan No 31-37 Surabaya yang akibatnya mengalami kerugian kisaran Rp24 juta. Rinciannya gaji selama 6 bulan dikali Rp3 juta yaitu Rp18 juta. Lalu, kelebihan bayar karyawan atas nama Sasongko dan Massun sebesar Rp4,7 juta. Ditambah lagi, Tunjungan Hari Raya (THR) yang diterima terdakwa senilai Rp1,5 juta.
Taufan Mandala, sebagai ketua majelis hakim
setelah mendengar amar dakwaan lantas bertanya kepada Dwi Kurniawati, “Apakah terdakwa jelas dan memahami atau tidak,” tanyanya.
Perempuan usia 41 tahun itu langsung menjawab secara lugas bahwa dakwaan “cukup jelas,’ ucapnya. Namun, ia melanjutkan kalau menurutnya amar dakwaan yang disusun oleh jaksa dari Kejaksaan Negeri Surabaya itu tidak sesuai kenyataan. Ia pun meminta izin untuk bercerita.
Ketua majelis hakim pun meminta terdakwa untuk menahan diri. Pembelaan atau eksepsi bisa diajukan pada sidang selanjutnya. Dirinya ingin terlebih dahulu memastikan, apakah pada sidang berikutnya akan mengajukan eksepsi atau memasrahkan sepenuhnya kepada penasihat hukum.Kemudian terdakwa pun memberi jawaban “langkah selanjutnya dipasrahkan pada penasihat hukumnya,” ucapnya. Di saat yang sama itu, tim penasihat hukum terdakwa langsung menimpali “Kami akan mengajukan eksepsi Yang Mulia,” tandasnya.
Dwi Kurniawati ditahan di Rutan Medaeng sejak 5 Maret lalu. Kasus buruh perempuan asal Surabaya ini ternyata disoroti sekumpulan profesi pengacara. Dwi mendapat bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tim Advokasi Buruh Peduli Anak Negeri (Tabur Pari).
Menurut pandangan LBH tersebut, Dwi sebagai korban yang tidak mendapatkan hak ketenaga kerjaan, namun perusahaan justru menjadikan Dwi korban dengan cara melakukan pelaporan di Kepolisian Sektor Genteng Surabaya.
Achmad Roni, salah seorang pengacara dari LBH tersebut menjelaskan, mulanya Dwi kerja sebagai accounting di PT Mentari Nawa Satria atau yang lebih dikenal Diskotik Kowloon.
Mulanya Dwi dikontrak kerja selama 6 bulan, dan dijalani selama 3 bulan. Bulan pertama Dwi mendapat gaji Rp 1,2 juta, bulan kedua Rp 1,5 juta, dan ketiga Rp 2,3 juta. Selain gaji di bawah UMK, Bu Dwi juga tidak didaftarkan BPJS dan akta kelahiran ditahan. Berawal dari situ, dia mengadu ke Disnaker Kota Surabaya dan diarahkan sebagaimana kasus perselisihan hak pidana diarahkan ke Disnaker Provinsi Jatim. Nah karena tidak ada tindak lanjut, Dwi melaporkan peristiwa yang ia alami ke Polda Jatim,” jelasnya
Seiring kemudian, Kepolisian ternyata menghentikan kasus tersebut. Namun, tiba-tiba Dwi dilaporkan di Polsek Genteng oleh Eko Purnomo selaku karyawan. Dia bukanlah pemegang saham melaporkan nama perwakilan perusahaan. Anehnya lagi, menjelang pemanggilan tersangka keterangan mewakili perusahaan dihilangkan. Laporan menjadi atas nama pribadi Eko,” terang Roni.
Roni dan kawan-kawannya beranggapan perkara ini tidak bisa dipisahkan karena Dwi Kurniawati memperjuangkan hak untuk mendapat upah sesuai UMK. Singkatnya ada kriminalisasi, Bu Dwi masuk Bui usai tanya UMK,” katanya.
voa.co.id sudah berupaya melakukan konfirmasi terhadap PT Mentari Nawa Satria dengan cara menghubungi nomor kontak yang tertera di akun Facebook dan Instagram Kowloon. Semula ketika di whatssApp hanya centang biru. Namun, saat disinggung tentang kasus tersebut tidak ada tanggapan. (okik)